Sedari awal saya terpikirkan untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, kata “mahasiswa” nyaris hampir tidak terlintas sama sekali. Alih-alih, kata UKT yang kerap muncul dari sisi oposisi dan “pendidikan yang lebih baik” dari sisi afirmasi. Kata “mahasiswa” baru terngiang setelahnya, ketika saya akhirnya lolos dan diterima di salah satu perguruan tinggi terbaik di Semarang, lalu mengikuti serangkaian acara orientasi mahasiswa hingga akhirnya menjalani bangku perkuliahan untuk pertama kalinya.
Memang ada apa dengan mahasiswa? Sebetulnya saya tidak ada masalah dengan kata ini, pun terhadap orang-orang yang memiliki sapaan itu. Justru, masalahnya ada pada diri saya sendiri. Penggabungan dua kata maha dan siswa ini, setelah saya pikir-pikir memiliki arti yang begitu besar dan saking besarnya saya pun menjadi ragu bahwa saya sudah layak atau sekadar boleh dipanggil dengan sapaan tersebut. Tidak semua kata diserap dan kemudian dijadikan sebagai sapaan. Untuk berberapa orang, bahkan kata mahasiswa ini bukan sekadar sapaan melainkan juga gelar sebab tidak mudah untuk menjadi mahasiswa dan tidak semua orang mendapatkan kesempatan tersebut.
Saya juga merasa demikian, kuliah adalah suatu hal yang eksklusif yang tidak sembarang orang dapat merasakannya, biaya hidup yang semakin tinggi tiap tahunnya, membuat saya sulit untuk mengambil keputusan ini. Maka dari itu, ada tanggung jawab besar kepada siapapun yang mendapatkan kesempatan ini. Dari sisi lain, Maha dan siswa, kata siswa disandingkan dengan kata maha. Ketika saya menyadari hal ini reflek hati saya berkata “Duh! Menjadi siswa saja saya masih belum lulus, mana bisa dibilang sebagai maha-nya siswa?!”.
Demikian, untuk saat ini saya lebih nyaman untuk dipanggil sebagai pelajar atau “anak kuliah”. Sebab, bagi saya mahasiswa seharusnya punya karakteristik dan perilaku “pendidikan” yang berbeda dengan siswa pada umumnya, ibarat soal perjuangan, maka mahasiswa lebih memperjuangkan pendidikan ketimbang dengan siswa biasa, ibarat soal perjalanan, maka mahasiswa lebih jauh jarak tempuhnya dibanding dengan siswa biasa. Untuk saya yang mana adalah manusia yang masih tidak terlalu bersemangat untuk berkuliah, mengerjakan tugas hampir selalu melebihi tenggat waktu, tidak aktif dalam kelas, tidak punya semangat juang yang tinggi untuk turut aktif mengikuti kegiatan-kegiatan di luar perkuliahan yang sebetulnya menunjang “kemahasiswaan”, mahasiswa adalah kata yang terlalu luar biasa untuk melekat pada diri saya.
Beberapa kali saya berpikir, apakah mahasiswa adalah istilah yang tepat untuk siapapun yang dapat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi? atau mungkin apakah saya punya jalan “mahasiswa” saya sendiri? Apapaun itu, semoga tidak sia-sia, semoga berguna.